5 Langkah Orang Tua Mendidik Anak Autis
KIM Gundih Sejaterah - Surabaya Tidak mudah membesarkan anak penyandang autisme. Pasalnya, anak autis lebih asik dengan dunianya sendiri dan lamban dalam merespon komunikasi, sehingga membuat orang tua membutuhkan kesabaran lebih.
Lusiana Handoko, orang tua dari Gevin, penyandang autis, mengaku, cukup melelahkan mengasuh anak penyandang autis. Menurutnya, orang tua harus pintar mengendalikan diri supaya dapat lebih sabar.
Pada peringatan Autism Awareness Monthbeberapa waktu lalu, ia memberi kesaksian tentang pengalamannya mengasuh dan mendidik Gevin sejak lahir sampai remaja.
Menurutnya, beberapa langkah berikut dapat dilakukan oleh orang tua untuk menghadapi anak penyandang autis.
Menerima kondisi autisme.
Menerima hal yang tak diinginkan memang tak mudah. Ini juga yang dialami oleh Lusiana Handoko saat mengetahui sang anak ternyata memiliki autisme. "Sehabis tes berupa daftar pertanyaan tentang perilaku anak, dokter saya bilang anak saya autisme. Saya tanya lalu bagaimana, sang dokter bilang saya harus menerima terlebih dahulu baru akan dijelaskan," kata Lusiana.
Lebih bersabar.
Makna penerimaan ternyata baru terasa setelah sang anak, Gevin, mulai beranjak dewasa. Lusi harus menghadapi berbagai tingkah Gevin yang kadang asik dengan dunianya sendiri. Belum lagi dengan berbagai terapi yang mesti dilakukan, semakin besar anak autis, orang tua mesti lebih bersabar. "Sebenarnya kendala yang besar itu datang dari diri sendiri. Capek memang, tapi hadapi kenyataan yang ada. Saya juga tersemangati begitu melihat ada teman yang lebih keras usahanya mengurus anak autis dibanding saya," kata Lusi.
Saling berbagi.
Saling berbagi informasi antar orang tua anak autis sangat membantu dalam menghadapi dan membesarkan anak autist. Interaksi antara orang tua dari anak penyandang autis diibaratkan sebuah sistem penyokong. Mereka saling berbagi, bukan hanya menguatkan namun juga memberikan informasi serta mencegah kesalahan yang pernah dilakukan orang lain. "Jangan malu untuk membuka diri kepada orang lain. Kesediaan untuk terbuka itu justru dapat mendatangkan berbagai info yang bisa berguna ketika mengurus anak," kata Lusi.
Pilah-pilih informasi.
Berbagai informasi tentang autisme banyak tersebar di dunia maya. Orang tua perlu memilih informasi yang positif, jangan terpengaruh mitos-mitos yang menyesatkan. Keputusan orang tua sangatlah harus dipikirkan dengan masak. "Semua informasi yang saya dapatkan saya kumpulkan dan saya pilih. Pokoknya saya mau yang logis, kisah suksesnya juga lebih banyak. Lalu saya konsultasikan lagi dengan dokter," kata Lusi.
Tidak lupa istirahat.
Menghadapi anak autis memang cukup melelahkan. Untuk itu, orang tua harus pintar-pintar juga mengendalikan diri supaya dapat lebih sabar. "Saya kalau capek ya jalan-jalan bersama teman-teman. Itu saya lakukan ketika saya tidak ingin berurusan dengan autisme dahulu. Ada juga teman saya kalau sudah capek justru ia sikat WC, karena itu metode untuk menenangkan dia," katanya. Lusi juga menyarankan agar orang tua dari anak penyandang autis mempunyai teman-teman orang tua yang non-autis, jangan orang tua dengan anak autis semuanya. “Jalan sama mereka. Jadi nanti begitu kembali ke rumah sudah segar dan bisa lebih sabar," kata Lusi. Menurutnya, kalau tidak melakukan hal itu, bisa berpotensi hilang kesabaran dan gampang stress. Kondisi seperti itu membuat rumah menjadi tidak enak yang jadinya akan berdampak ke anak.(TH)
KIM Gundih Sejaterah - Surabaya Tidak mudah membesarkan anak penyandang autisme. Pasalnya, anak autis lebih asik dengan dunianya sendiri dan lamban dalam merespon komunikasi, sehingga membuat orang tua membutuhkan kesabaran lebih.
Lusiana Handoko, orang tua dari Gevin, penyandang autis, mengaku, cukup melelahkan mengasuh anak penyandang autis. Menurutnya, orang tua harus pintar mengendalikan diri supaya dapat lebih sabar.
Pada peringatan Autism Awareness Monthbeberapa waktu lalu, ia memberi kesaksian tentang pengalamannya mengasuh dan mendidik Gevin sejak lahir sampai remaja.
Menurutnya, beberapa langkah berikut dapat dilakukan oleh orang tua untuk menghadapi anak penyandang autis.
Menerima kondisi autisme.
Menerima hal yang tak diinginkan memang tak mudah. Ini juga yang dialami oleh Lusiana Handoko saat mengetahui sang anak ternyata memiliki autisme. "Sehabis tes berupa daftar pertanyaan tentang perilaku anak, dokter saya bilang anak saya autisme. Saya tanya lalu bagaimana, sang dokter bilang saya harus menerima terlebih dahulu baru akan dijelaskan," kata Lusiana.
Lebih bersabar.
Makna penerimaan ternyata baru terasa setelah sang anak, Gevin, mulai beranjak dewasa. Lusi harus menghadapi berbagai tingkah Gevin yang kadang asik dengan dunianya sendiri. Belum lagi dengan berbagai terapi yang mesti dilakukan, semakin besar anak autis, orang tua mesti lebih bersabar. "Sebenarnya kendala yang besar itu datang dari diri sendiri. Capek memang, tapi hadapi kenyataan yang ada. Saya juga tersemangati begitu melihat ada teman yang lebih keras usahanya mengurus anak autis dibanding saya," kata Lusi.
Saling berbagi.
Saling berbagi informasi antar orang tua anak autis sangat membantu dalam menghadapi dan membesarkan anak autist. Interaksi antara orang tua dari anak penyandang autis diibaratkan sebuah sistem penyokong. Mereka saling berbagi, bukan hanya menguatkan namun juga memberikan informasi serta mencegah kesalahan yang pernah dilakukan orang lain. "Jangan malu untuk membuka diri kepada orang lain. Kesediaan untuk terbuka itu justru dapat mendatangkan berbagai info yang bisa berguna ketika mengurus anak," kata Lusi.
Pilah-pilih informasi.
Berbagai informasi tentang autisme banyak tersebar di dunia maya. Orang tua perlu memilih informasi yang positif, jangan terpengaruh mitos-mitos yang menyesatkan. Keputusan orang tua sangatlah harus dipikirkan dengan masak. "Semua informasi yang saya dapatkan saya kumpulkan dan saya pilih. Pokoknya saya mau yang logis, kisah suksesnya juga lebih banyak. Lalu saya konsultasikan lagi dengan dokter," kata Lusi.
Tidak lupa istirahat.
Menghadapi anak autis memang cukup melelahkan. Untuk itu, orang tua harus pintar-pintar juga mengendalikan diri supaya dapat lebih sabar. "Saya kalau capek ya jalan-jalan bersama teman-teman. Itu saya lakukan ketika saya tidak ingin berurusan dengan autisme dahulu. Ada juga teman saya kalau sudah capek justru ia sikat WC, karena itu metode untuk menenangkan dia," katanya. Lusi juga menyarankan agar orang tua dari anak penyandang autis mempunyai teman-teman orang tua yang non-autis, jangan orang tua dengan anak autis semuanya. “Jalan sama mereka. Jadi nanti begitu kembali ke rumah sudah segar dan bisa lebih sabar," kata Lusi. Menurutnya, kalau tidak melakukan hal itu, bisa berpotensi hilang kesabaran dan gampang stress. Kondisi seperti itu membuat rumah menjadi tidak enak yang jadinya akan berdampak ke anak.(TH)
Post a Comment